Selasa, 17 April 2012

Cerpen Kuntowijoyo-Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”

RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana” Cerpen Kuntowijoyo Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.” Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.” Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT. Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta. “Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2. Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak. “Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang. “Gotong-royong kita sangat bagus.” “Kita masih punya semangat empat-lima.” Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.” Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya. Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah. Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal. “Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.” “Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon. “Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar. “Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.” “Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami. Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa. Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus. Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar. Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore. Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab. “Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.” “O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya. “Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.” “Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk. Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi. “Pagi-pagi sekali, dari mana?” “Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”. “Lho, kok?” “Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.” Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman. “Di mana kalian? Kami kalah.” Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali. “Di mana?” “Sini!” Berulang-ulang. Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang. Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu. “Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.” “Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.” “Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan. Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar. “Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.” Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda. Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya. Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih. Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya. “Kok menyapu sendiri, Pak?” “He-eh, tidak ada yang disuruh.” Lain hari perempuan itu lewat lagi. “Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.” “He-eh, habis bagaimana lagi.” Lain hari perempuan itu sengaja lewat. “Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?” “Ya tidak ada.” Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu. “Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?” “Mau saja.” Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu. Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. “Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya. Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop! Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.” Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri. Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal. Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain. Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. * Yogyakarta, 23 Februari 2004 Sumber: Kompas Minggu, April 2004

Malam indah

Bukan seperti itu yang saya inginkan, melainkan sepertini ini yang kalian ianginkan. Dulunya sebelum mempunyai tempat tinggal saya kurang bersemangat, tetapi saat ini setelah saya mempunyai sebuah rumah saya merasa bangga. Dan, kebanggaan saya itu tiada pembandingnya.Saya, kakak saya dan adik-adik saya dilahirkan dari satu tarangan yang sama. Keakraban antara kita juga tiada pembandingnya, melakukan apapun selalu bersama hingga kini. Melampaui jalan panjang, dengan hantaman kerikil tajam yang sebenarnya adalah tumpul.

Kenapa harus seperti ini? Itu ungkapan dihati semata, karena saya tidak sanggup untuk mengungkapnya. Jika perkara ini saya ungkap pasti semua “adu jotos”, saya tidak menginginkan hal itu. Yang berlalu biarlah berlalu. Biarkan saja mengalir apa adanya, hilangkan semua ego dalam diri kalian adik dan kakakku. Kita ini satu rumpun. Yang dari nol kita berjuang bersama. Perjuangan itu tidak mungkin dihentikan, tapi tidak mungkin juga untuk diteruskan jika seperti ini.

Ketika truck berjalan dengan rodanya yang kokoh berputar saya ingin masuk kedalam hingga tubuh ini hancur berkeping tiada sisa. Ah, itu tidak mungkin saya lakukan, karena dijauh sana banyak yang menantikan saya, dan untuk memenuhi janji-janji saya. Sebenarnya juga tidak ada yang perduli dengan saya, kecuali Ibu saya. Intinya ini tidak mungkin.

Pesan Ibu, jangan sampai kamu mengecewakan, menyinggung perasaan orang, dan mencampuri urusan orang lain. Itu tidak ada gunanya. Kecuali orang tersebut “membutuhkan”! biarlah orang melakukan apapun seenak udelnya, pokok tidak merugikan kita dan tidak keluar dari jalurnya. Kamu tahu kan warna bendera Indonesia? Merah Putih. Merah artinya berani dan putih suci, dimana merah melambangkan orang pemerintahan(abangan), putih melambangkan keagamaan. Kedua warna tersebut dijahit dijadikan satu menjadi merah dan putih. Simpulanya adalah pemerintahan dan keagamaan harus bersatu tidak saling bermusuhan. Berjalan menurut turan masing-masing. Karena kita hidup di Indonesia ya kita ikuti aturan tersebut.

Lantas bagaimana ini terseleseikan? Memang sulit diseleseikan kecuali sadar diri. Sadar diri maksudnya biar berjalan sesuai keinginan masing-masing asal tidak keluar dari konsep dan tujuan(antara A dan B yang saling membutuhkan, ataupun B-A yang saling membutuhkan). Karena itu adalah Proses kalian mencapai tujuan. Masih saja seperti itu, tidak sanggup saya berfikir.

Sementara saya masih terombang-ambingkan oleh hati saya sendiri. Puluhan ribu centimeter setiap minggu terlampaui, kadang jenuh saya pikir. Itu saya lakukan demi mendapatkan kebahagiaan di dunia, bukan di akhirat. Semoga saja saya bisa. Lain halnya dengan kakak yang sudah sukses disana, serba kecukupan, jiwa dan raga. Semoga saja bisa awet tekun dan gigih bekerja. Disusul dengan sifat adik saya yang susah dikendalikan, apapun yang dia lakukan, walaupun dulu pernah menusuk punggungku hingga berdarah dan membekaskan luka begitu tajam. Sikap, atau sifatnya memang seperti itu. Aku anggap chiki.

Malam begitu indah

Surabaya, 11 Maret 2012

Minggu, 26 Juni 2011

putih lan abangan

Lakon
Putih lan Abangan
Oleh : Tedi Subohastowo/2011

Bengi.
Ijenan..
Kamituwo :
Biyen aku dipeseni mbahku. Jarene wong jawa kuwi kudu uri-uri budaya. Biyen aku sempet bingung, budaya sing piye? Nanging ora tau tak pikir, wong aku iseh cilik.
Mbah ku iku kamituwo pertama nang kampong iki. Emboh pirang tahun olehe jabat, aku lali. Akhire diterusne karo mbah Karman, terus Yahya. Lha mbah karman iku pak’e Ratna sing omahe kidul embong iku. Terus nek Yahya iku sing omahe lor embong, mari ngunu Purwadi bojone mbak Har omahe kidul.
Mbahku jabat puluhan tahun. Mbah karman yo puluhan tahun. Tapi lapo pimpinan sing anyar-anyar kaya Yahya lan Purwadi kok mati enom kabeh. Lha iku masalahe, mesti ana sing ora bener.
Akhire pimpinan nang kampong iki wis tak cekel. Seprono suwene, akhire putune dewe sing mandegani.
“Nyata…”
Kabeh putu-putune saben surup batuk’e didilat. Lah opo kok ono adegan sing kaya ngunu kuwi? Mungkin ben slamet, utawa dadi wong sing sukses.

Awan
Kamituwo :
Assalamualaikum?
Moden :
Wa’alaikum salam!
Monggo mlebet pak Wo,
Kamituwo :
Nggeh..!
Moden :
Wonten nopo pak Wo,?
Kadose kok penting sanget!
Kamituwo :
Nggeh ..!
Sepindah kulo mriki bade silaturohmi.
Kaping kalih kulo mriki bade ngaturi pak Moden.
Moden :
Nggeh, ngaturi nopo pak?
Kamituwo :
Ngaturi wonten nyadranan, nerusaken budaya ingkang sampun-sampun dugi leluhur.
Sak meniko pari lak nggeh sampun telas to?
Moden :
Dilaksanaaken dinten nopo?
Lan acarane pripun?
Kamituwo :
Kados ingkang sampun-sampun,
Dadose jum’at dalu niku yasinan.
Sabtu dalu kirim do’a kagem leluhur/ tahlilan.
minggu injing ngempal bereng wonten trenggulun porak tumpeng,
lajeng tayuban.
Lan minggu dalu, malem penutup wayangan.
Moden :
Ngoten?
Kamituwo :
Nggeh..!
Moden :
Kulo bantu nopo?
Kamituwo :
Jenengan mengke bagian do’a!
Moden :
Sakderenge kulo nyuwon ngapunten sanget pak Wo?
Umpami boten sisah tayuban niku pripun?
Kamituwo :
Lha lah nopo kok ngoten?
Niku sampun budaya!
Moden :
Amergi ngeten pak, tayuban niku mangke mesti wonten ngkang omben-omben. Tiang kampong mriki lak kaum danten to?
Lha mengke mbok bilih boten wonten tayuban kulo saget dugi pak!
Bojone Moden teko gawa 2 cangkir kopi !
(Monggo di unjuk)
Kamituwo :
Kulo sumerap tiang mriki kaum danten,
Niki sampun budaya.
sing omben-omben niku lak tiang jawi, acara niki sinten awon saged dugi lan mersani.
Moden :
Lah niku masalahe, tiang mriki mangke ketularan.
Kamituwo :
Masalah ketularan niku tergantung tiange!
Moden :
Monggo di unjuk!
Ngombe kopi.
Kamituwo :
Babakan ngeten niki wonten ten perda, saking pemerintah.
Dadose kulo wajib nerusaken!
Moden :
Nanging dampak’e saged mlenceng saking ajaran agama Islam.
Kamituwo :
Nek kulo mikir positif mawon.
Jenengan sumerap lahnopo gendero Indonesia niku warnane abang lan putih?
Gambarane niku abang niku pemerintahan lan putih niku agama, dadine wong pemerintahan niku kudu sehati kaleh tiang agama dadine saget guyub lan rukun..
Wonten nyadran niku enten sing dongo, wonten acara keagamaan pemerintahan nggeh saget mandegani. Nah dadose niku Indonesia.
Nggeh sampun menawi ngoten kulo nyuwun pamit!
Assalamualaikum!
Moden :
Wa’alaikumsalam..!
LAMPU MATI.
NANG OMAHE MBAH JO.
Kamituwo :
Kulonuwon?
Mbah Jo :
Monggo!
Jenengan to Pak Wo?
Monggo pinarak!
Kamituwo :
Nggeh…!
Mbah Jo :
Saking pundi niki wau?
Kamituwo :
Saking pak Moden.
Mbah Jo :
Wonten perlu nopo ?
Kamituwo :
Nggeh kados ingkang dirembuk aken wingi, minongko ngaturi Nyadran.
Mbah Jo :
Lajeng Moden puron nopo boten?
Kamituwo :
Kadose boten puron mergi wonten tayuban. Terose ajreh enten omben-ombene!
Mbah Jo :
o… ngoten!
Lajeng pripun?
Kamituwo :
Nggeh santai mawon tiang saget dongo katah to Mbah?
Kulo tak blajar Dongo, kersane tahun ngajeng kulo donganane dewe!
Mbah Jo :
Hahahahaha…..!
Ngoten nggeh saget Wo!
Kamituwo :
Kulo malih nyimpulaken,
Mbah Jo :
Pripun niku ?
Kamituwo :
Wong-wong niku boten ssaget langgeh amergi boten uri-uri budaya, lan boten peka kaleh kedadean ingkang sampun sampun. Podo mati enom.
Riyen kulo tasik dereng dados kamituwo, kolu niku mesti ngimpi naliko ajenge nyadran.
Ten ngimpi kulo di utus numbasaken omben-omben damel sajen ten trenggulun. Kulo tumbasaken. Akhire kulo nggeh ngombe pisan, pas ngombe kulo glenyehan danyange kulo ajak tos, lha dalah botole omben kanggo danyang bledos, lajeng riyen nggeh nate angsal impen, dino nyadran ajenge dig anti, alone kulo panggih danyang tiyange mureng-mureng. Nah berarti lak memang wonten 2 alam, lan 2 alam niku kudu saling berinteraksi. Lak ngoten se Mbah?
Mbah Jo :
Wonten benere niku wo!
Wong sakdurunge Islam mlebu budaya iku wis ana, lantas anak turune sing nerusne.
Kamituwo :
Nggeh pun mbah kulo pamit rumiyen, sing penting hasile ngoten niku?
Dadose jenengan un sumerap lantaran kulo.
Mbah Jo :
Nggeh matur suwun Wo!
Kamituwo :
Jan gumun aku.
Wong Jawa wis lali karo budayane.
Wingi ana kedadean. Anak’e santri nang kampong iki kecekel polisi. Gara-gara gawa lan gawe pil koplo. Nah sak’iki sopo sing gak pas tatanane.
Berarti wong agama nang kampong iki ora sukses ngwenehi tatanan babakan agama nang santrine, nyatane ana kahanan kaya ngunu kuwi.
Bener omongane mbah ku.
“Gusti iku gawe isine menungsa enek loro, apik karo elek”
Sing apik yo babah apik, sing elek yo babah elek.
Sing apik ojo utik-utik sing elek.
Sing elek ojo utik-utik sing apik.
Sing penting guyub lan rukun.

Senin, 13 Juni 2011

serat

Serat
Wengi sepi tanpa sinar rembulan
Dadio sampean tuladha kang tauladan
Gedhening ombake segara, sampean kudu sabar nahan
Bantere angin, sampean kudu kuat nampu
Panase geni, sampean kudu dadi banyu sing gawe nyiram
Lan ojo seneng jajan
Iku pesenku nang sampean. Mergo aku ora iso 24 jam mbek sampean. Aku yakin sampean paham apa kang tak cetak tebal lan mereng. Aku nulis kaya mengkunu kuwi amergo aku sering krungu prilakon kang ora pas ning kauripan sampean. Aku janji marang awakku dewe lan sampean nek apa kang tak lakoni, pahit getiring sing tak lakoni aku ora bakal berpaling saka sampean, kecuali kehendakke pengeran.
19 februari 2009
Cinta dan bla bla bla
Saya bukan seorang Panglima yang bijaksana dalam menentukan kata, namun seorang Prajurit yang siap menerima dan menjalankan semua perintah. Seperti saat ini saya bukan seorang penulis yang profesional, namun saya adalah seorang juru ketik dari ide yang keluar dari otak saya. Dan untuk saat ini tertawalah    , tentang ide yang keluar dari otak saya.
Trauma, jera, takut, atau apalah istilahnya, sering saya mendengar itu. Wacana saya tentang remaja saat ini yang sedang putus cinta. Ya, kali ini saya ingin berdiskusi tentang “cinta”. Dan tulisan ini tidak sedikitpun dikutip dari, www/ http/ google, dll. Padahal saya sendiri kurang tahu akan itu cinta. Dan maaf jika memang tulisan ini sudah pernah diketahui dari buku/ internet yang pengertianya sama, ini murni keluar dari otak saya.
Cinta itu bisa di pelajari, itu yang sering saya ucapkan, bagi yang sering mendengar tentunya. Cinta itu tidak nyata, alias tidak dapat disentuh. Hanya sebuah istilah saja, karena ada banyak point-point nya.
1. Saling Menghormati
Dalam sebuah hubungan ada rasa yang timbul dari hati untuk saling hormat atas ide-ide dari keduanya. Tentunya banyak hal, dari mulai yang terkecil maupun besar sekalipun. Namun tak semudah seperti yang tertuliskan jika kita sebagai pelaku dari itu.
2. Saling Menyayangi
Ini yang sedikit sulit penjabaranya. Karena masih berhubungan dengan sebuah rasa. Terlalu susah untuk dijelaskan, ataukah kurangnya kosa kata dalam otak saya. Begini sajalah kata utamnya adalah sayang, saya artikan sebuah rasa yang timbul atas panggilan jiwa terhadap seseorang yang telah hadir di ruangnya.
Panggilan jiwa itu susah untuk mempertahankannya dalam sebuah hubungan. Karena kapan saja bisa muncul dan tak hanya kepada pasangan saja, setiap saat dapat hadir dengan tiba-tiba, pada seorang yang memanggil jiwanya.
3. Saling memberi
Penjabarannya ialah, dalam sebuah hubungan ada imbal balik antara keduanya. Tentunya rasa “memiliki”, bukan memiliki untuk segalanya, karena kita masih dalam tahap hubungan dan bukan untuk segalanya. Yang terpenting adalah dorongan sosial, karena tidak mungkin antaranya tidak mempunyai suatu problem. Nah, ketika dalam problem tersebut kita dapat mengisinya dengan dorongan, sehingga dapat mengisi ruang kosongnya ketika itu. Contoh singkatnya adalah seperti itu. Saling memberi, dan ketika dia membutuhkan kita akan selalu ada, dan mengisi dan efek sampingnya kembali lagi pada hal diatas, yaitu akan sebuah cinta.
4. Saling mempertanggung jawabkan
Dari semua yang dilakukan tentunya mempunyai sebuah bentuk pertanggung jawaban. Seperti apa yang telah saya tuliskan ini .
Dalam hal ini, kita memberikan, memutuskan, memberi saran, mengkritik, dll, sewajibnya kita tahu prediksi dampaknya kemudian. Kemudian dalam memberikan solusi pada penanggulangan dampak tersebutlah yang harus kita kuatkan.
Jika kita membuat racun kita harus membuat penawarnya.
Seperti itulah, dan saya pikir kawan-kawan sudah paham tentang tanggung jawab dan mempertanggung jawabkan.
5. Susah untuk dipisahkan
Dari point 5 inilah saya menemukan benang merah dari sebuah istilah cinta. Dengan sebuah proses panjang yaitu penelitian terselubung.
Seperti itulah sedikit uangkapan saya tentang sebuah istilah cinta yang katanya sakral bagi yang mengatakannya.
Kemudian,
Untuk mencapai sebuah cinta sebenarnya terlalu gampang. Menurut saya bukan uang, mobil, motor, ataupun yang lainya, melainkan hanya modal keberanian. Dan insyaallah berhasil.
1. Berkenalan atau dikenalkan
2. Pendekatan
- Berikan kharisma
3. Penjajakan (telusuri)
4. Info sosialnya
5. Keluarganya
- Berikan kharisma
6. Tindak lanjut
Dalam proses tersebut memang diperlukan uang, mobil, motor, dll. Namun semua bukan jaminan. Memang jaminan, jika targetnya matre. Kita hanya membutuhkanya sedikit saja. Karena motor kita juga punya. Hanya mengolah kata saja. Insyaallah berhasil dan bertahan lama.
Dan jika dalam keberhasilan tersebut berlangsung, kita akan mengalami sebuah kejenuhan hubungan. Tidak dapat dipungkiri hal itu. Tentunya setelah saya melakukan survey terhadap 10 orang. Laki-laki akan mencari pelampiasan, dekat dengan perempuan lain, dan perempuan akan dekat dengan laki-laki lain. Namun itu tak kan bertahan lama, setelah kejenuhan itu hilang.
Ini bukan untuk semua kalangan. Karena teori ini dapat di gunakan bagi yang mempercayainya, dan orang-orang yang terpinggirkan.

Oleh tedi subohastowo
12.06.2011
wassalam

Alam kang Tinagih


Alam Tinagih

Aku amung bisa ngrasakke
Ning raga ora ketoro
Ngrasakke lara sajroning dada
Mustaka muntang-manting manah ora sekeco
Yaiku araning ilmu rasa
Aku mung bisa ndeleng
Papan dumunung kang ora mapan
Pating slengkrah ing donyo
Sanak kadang kakung cumawis ing mejo
Kaya sajen awam sing akeh guna
Mendung ireng gumantung
Gluduk gembleger
Awan peteng bengi peteng
Jalmo manungso bingung
Muncat-mancit di pandegani sapa
Akeh wadon dadi lanang
Lanang dadi wadhon
Wis ora patrape sing di gawe
Kembang-kembang wis podho mekar
Kapan marine?
Wong jawa kari separo
China Landa Kari sajodho
Tentrem loh jinawi
Balik alam kaya tahun wingi-wingi
Mulane manungso mikiro
Ojo dumeh, ojo cengkre, ojo nglakoni ala, Sing apik karo tangga,
luwih becik jujuro tinimbang tinggal donyo ajor mumur tanpo busana yen pengen urip mulyo. Wirito.

02-02-2010
Saking kadang sing duduk apa-apa